Kisah Laki-Laki Berhati Emas dan Nenek Buta


Sudah beberapa waktu lamanya Umar memerhatikan. Lelaki itu selalu menyelinap diam-diam, pergi entah kemana setiap sehabis shalat subuh berjamaah. Umar baru akan menemukannya kembali selepas waktu dhuha, saat hari telah panas.

Benar-benar setiap hari, tak pernah absen satu kalipun. Mungkin lelaki itu pikir tak ada sesiapa yang mengetahui apa yang ia perbuat. Namun, ia salah. Mata elang Umar bin Khattab sudah berkali-kali memergokinya.
‘Dan hari ini aku harus tahu kemana ia pergi!’ tekad Umar.

Maka fajar itu ia mulai membuntuti. Dengan cerdik ia mengambil jarak yang cukup jauh, agar tidak diketahui oleh sasarannya.
Setelah sekian lama berjalan, Umar menyadari bahwa ia telah keluar dari perbatasan Madinah.

‘Urusan apa gerangan yang ia tunaikan, hingga berjalan kaki pulang pergi sejauh ini setiap hari?’ pikir sahabat terdekat Rasulullah ﷺ itu semakin penasaran.

Nun jauh di tengah padang pasir tandus, akhirnya lelaki itu sampai di tujuan. Ia mengetuk pintu sebuah gubuk reot, kemudian menghilang berjam-jam di dalam sana.

Umar bersembunyi dengan sabar di kejauhan. Setelah matahari tinggi di kepala, barulah terlihat lelaki itu berjalan pulang.

Umar buru-buru mengetuk pintu. Tuan rumah yang datang menyambut adalah seorang wanita renta tuna netra. Ia ternyata tidak tinggal sendiri. Ada beberapa anak kecil di dalam gubuk reot tersebut.

“Ada yang bisa aku bantu, Tuan?”
“Assalamualaikum. Maaf mengganggumu, Ummu. Aku perlu tahu, apakah yang dilakukan lelaki yang baru saja meninggalkan rumahmu tadi?”
“Oh, maksud Anda lelaki berhati emas itu? Ia setiap hari datang kemari untuk mengurus kami.”

“Siapakah anak-anak ini?”
“Mereka adalah cucu-cucuku, Tuan. Qadarullah, orang tua mereka telah tiada, dan hanya akulah satu-satunya yang mereka miliki. Aku tak henti bersyukur Allah mengirimkan lelaki mulia tadi untuk mengurus kami.”

“Apa rupanya yang ia lakukan?”
“Semoga Allah merahmatinya.” Wajah keriput itu terlihat berseri-seri.
“Begitu ia tahu bahwa aku yang buta ini tak akan mampu merawat sendiri cucu-cucuku, setiap pagi ia datang membantu. Ia membersihkan rumah, mencuci baju, menggiling gandum, kemudian membakar roti. Setelah memastikan makanan kami tersedia untuk hari ini, barulah ia pulang.”

“T-tapi … tahukah engkau siapa dia, Ummu?” Umar menahan napas.

“Masyaa Allah … tidak, Tuan. Tak sekalipun ia memberitahukan namanya. Ia tak pernah repot-repot memperkenalkan diri.”

Umar bin Khattab lekas-lekas permisi. Ia tak ingin ada yang tahu bahwa ia sedang berjuang menahan air mata haru.

Bagaimana tidak? Lelaki yang setiap hari menyingsingkan lengan membantu merawat si nenek beserta cucu-cucunya yang yatim piatu, membersihkan rumahnya, mencucikan baju-baju mereka, menggilingkan gandum, membakarkan roti, dan memastikan makanan terhidang di atas meja mereka setiap hari adalah ….

…. Seorang Khalifah yang amat sangat dihormati kawan dan disegani lawan, dengan kekuasaan yang tidak hanya meliputi Madinah, bukan pula hanya sebatas semenanjung Arab.

Namun merupakan pemegang kendali tertinggi pemerintahan Islam di seluruh penjuru dunia saat itu, menggantikan Rasulullah ﷺ. Abu Bakar Ash-Siddiq Radhiyallahu Anhu.

Tinggalkan komentar